Rabu, 03 Agustus 2016

Puisi Ketigapuluhtujuh

Pendusta

Aku bukan orang yang suci.
Terkadang sesekali diriku bersujud pada takdir yang kubuat sendiri.
Bagaikan gelap adalah cahaya penerang hidupku.
Dan dosa adalah teman sejagat kalbuku.

Aku sering mengurung diri di depan tembok ratapan diri.
Memahat sejuta janji untuk mengubah diri menjadi lebih baik lagi.
Walau kusesal diri ini hanya mencibir hati.
Tanpa sadar kalau janji ini tak pernah aku tepati.

Dibalik pengakuan ini aku berjanji sekali lagi.
Untuk tidak mendustai diri.
Walau jiwa ini cukup yakin.
Esok tak pernah hadir membawa jawaban pasti.

Kota Daeng, 20 Juli 2016

Puisi Ketigapuluhenam

Masa Depan

Ada cerita yang tak dapat digenggam oleh ingatanku sendiri.
'Masa Depan'.
Itu yang kumaksud.

Makassar, 18 Juli 2016

Puisi Ketigapuluhlima

Nokturnal

Aku terbebas dari rahim seorang ibu di sepertiga malamku.
Mataku terbuka tapi terbutakan oleh gelapnya malam.
Katanya, dunia lagi cantik-cantiknya di kala itu.
Aku tak percaya, sebab hal itu hanya berupa bisikan seorang malaikat berwujud abstrak.

Siapa mereka?
Terdengar suara bahagia dengan nada sedikit parau melintas di daun telingaku.
Mungkin perasaanku saja.
Meski aku cukup yakin, kala itu aku belum memiliki perasaan yang tampak menyiksa seperti sekarang.

Rumah Sakit sederhana di persimpangan jalan adalah persinggahan awalku sebelum merajut kisah di dunia ini.
Dinding retak berwarna putih yang memudar itu merupakan batas teritori antara aku dan dunia luar.
Dari atap sedikit bocor terlihat bintang dan rembulan sedang tersenyum sejenak bersamaku.

Jiwaku cukup lelah bertanya kesana kemari.
Aku butuh jawaban pasti.
Penat diri ini hanya mengukir seribu tanda tanya diri.
Seketika kutemukan sebuah jawaban dari langit ketujuh.
Seraya berkata: 'Aku ini hewan yang berpikir'.

Pare-pare, 7 Juli 2016

Puisi Ketigapuluhempat

Segelas Rasa Pahit

Dari semua rasa yang pernah kupinjam darimu.
Hanya rasa pahit yang tak akan pernah kukembalikan padamu.

Biarkan ini menjadi perkara aku saja.
Sebab kamu terlalu manis untuk mengecap aroma pahit dari bibir gelas kopi buatanku ini.

Aku terlahir sebagai peramu saji.
Dan kau adalah pelanggan yang aku hormati.

Kuharap esok pukul delapan pagi.
Kau hadir membawa cerita baru lagi.

Langit Jakarta, 3 Juli 2016

Puisi Ketigapuluhtiga

Gelap Saja(k)

Malam telah menggelap.
Dalam gelap yang pekat kupandang diriku di depan cermin.
Kini aku terbebas menjadi apa saja.
Aku memilih menjadi bait.
Di akhir puisi ini.

2 Juli 2016 di Langit Jakarta

Puisi Ketigapuluhdua

Puas(a)

Siang terik kubutuh segelas air es.
Gelasnya yang sedikit hangat karena aku ingin mengecap teriknya matahari.
Tapi kerongkongan tak mau dibasuh air.
Katanya, Adzan Maghrib lagi dalam perjalanan membawakan segelas air es.

2 Juli 2016 dan masin berpuasa

Puisi Ketigapuluhsatu

Mata Sastra

Hingga rembulan dibungkam matahari.
Mata ini tak dapat menutup dirinya sendiri.
Sastra seolah menari-nari dipikiranku.
Adakah yang merasakannya juga?
Jika ada, maka kau adalah kawanku.